jump to navigation

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN January 30, 2010

Posted by Bima Hermastho in Chapter 5.
Tags: , ,
add a comment

5.1 Kesimpulan

Keunggulan daya saing perusahaan untuk memenangkan persaingan bisnis salah satunya melalui pencapaian kualitas produk / jasa yang memiliki kualitas unggulan dan mampu memuaskan pelanggan dengan segala atribut yang di-inginkan pelanggan. Kesuksesan kinerja organisasi tidak lagi semata-mata dilihat dari perspektif / indikator finansial, namun juga melalui perspektif kepuasan pelanggan, kinerja operasional maupun kapabilitas organisasi. Salah satu strategi bisnis yang banyak digunakan sebagai standar praktek global saat ini adalah implementasi inisiatif TQM (Total Quality Management) melalui berbagai bentuk variannya.

Saat ini TQM dan alat manajemen serupa yang lain, misalnya Six Sigma, Lean Management System, diyakini merupakan alat peningkatan kinerja bisnis yang paling banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia, dan menjadi alat utama di dalam manajemen perubahan untuk menciptakan budaya perusahaan unggulan. Menurut Hansson (2003), TQM telah menjadi filosofi manajemen dan menjadi kunci dalam persaingan global, sebagai alat untuk mencapai keunggulan kompetitif jangka panjang. Namun demikian hingga saat ini belum ada penelitian yang mengembangkan model terpadu bagaimana pengaruh strategis praktek MSDM, budaya perusahaan dalam menunjang kinerja organisasi yang berbasis TQM, padahal secara operasional terdapat keterkaitan erat ketiga praktek manajemen tersebut, khususnya di dalam sebuah organisasi perusahaan yang berorientasi pada world class company.

Atas dasar hal tersebut maka penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan penelitian mengenai “Bagaimanakah model pengembangan praktek MSDM yang efektif untuk menunjang terbentuknya budaya perusahaan unggulan yang selaras dengan inisiatif peningkatan kinerja bisnis berbasis TQM ? Bagaimana dengan praktek yang terjadi di perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Tengah ? “

Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, dalam penelitian ini akan dikembangkan sebuah model yang diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap keterkaitan praktek MSDM, pemetaan budaya organisasi dan pencapaian kinerja unggulan TQM. Model penelitian yang dikembangkan tersebut melibatkan sembilan variabel penelitian yang terdiri dari enam variabel eksogen dan tiga variabel endogen yang meliputi staffing (STF), training (TND), performance appraisal (PAP), rewards (RWD), employee relations (ERL), internal communication (ICM), adhocracy culture (ADC), market culture (MKC), dan TQM (BLD). Data mengenai variabel-variabel tersebut melalui angket yang disebarkan kepada 175 responden industri manufaktur yang terdaftar di Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM).

Hasil pengujian model penelitian dengan menggunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM) dapat diketahui bahwa model yang dikembangkan adalah model yang fit, artinya dengan menggunakan data sampel model yang diuji merupakan model yang sesuai dengan populasi yang diestimasi. Sedangkan dari hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa terdapat enam hipotesis yang terbukti memiliki pengaruh signifikan sehingga dapat diketahui bahwa adhocracy (ADC) secara signifikan dipengaruhi oleh training dan pelatihan (TND), reward (RWD), employee relation (ERL), dan internal communication (ICM), market (MKC) dipengaruhi secara signifikan oleh training dan pelatihan (TND), sedangkan TQM (BLD) secara signifikan dipengaruhi oleh market (MKC).

5.2 Implikasi Teoritis

Model penelitian dan hipotesis yang dikembangkan, didasarkan pada berbagai teori dan hasil-hasil penelitian terhadahulu. Oleh karena itu, hasil penelitian ini akan membawa beberapa implikasi terhadap teori-teori maupun hasil-hasil penelitian terdahulu yang mendasarinya, yaitu :

1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa staffing (STF) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja unggulan TQM (BLD). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yang (2006) meneliti pengaruh praktek MSDM terhadap kesuksesan implementasi TQM di perusahaan-perusahaan High Tech di Taiwan. Latar belakang penelitiannya untuk melihat sejauh mana fungsi MSDM dapat menunjang keberhasilan organisasi dalam mengaplikasikan TQM. Salah satu temuannya yaitu perhatian dari Top Manajemen yang masih sangat kurang bagi praktek MSDM yang sejalan dengan TQM.

2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa training (TND) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja unggulan TQM (BLD). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Delaney & Huselid (1996), Arthur (1994), Huselid (1995), Jackson & Schuler (1995) bahwa kesuksesan TQM sangat ditentukan oleh keselarasan aktivitas pelatihan sebagai bagian dari praktek MSDM yang dapat mendukung kinerja organisasi.

3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa performance appraisal (PAP) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja unggulan TQM (BLD). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Yang (2006) yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan praktek penilaian kinerja karyawan dalam menunjang kesuksesan implementasi TQM.

4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rewards (RWD) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja unggulan TQM (BLD). Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitia yang dilakukan oleh Boje & Winsor (1993), Choi & Behling (1997) bahwa kegagalan implementasi TQM dipengaruhi oleh sistem imbalan terkait dengan aplikasi TQM dan korelasinya dengan kinerja organisasi. Sistem imbalan tradisional memberikan penghargaan kepada individu karyawan didasarkan pada pencapaian individu dan posisinya di dalam hirarki organisasi (struktur). Sistem imbalan tersebut tidak mengakomodasi faktor TQM, seperti halnya partisipasi, organisasi berbasis tim dan peningkatan pengetahuan karyawan serta tidak berfokus pada kualitas (Lawler & Jenkins, 1994; Waldman, 1994; Juran, 1993). Penelitian lain dari Allen dan Killmann (2001) menegaskan adanya reluktansi sebagian besar organisasi untuk mengevaluai praktek sistem imbalan, hal ini dikarenakan akan berpengaruh terhadap sistem kompensasi secara keseluruhan baik langsung maupun tidak langsung.

5. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa employee relations (ERL) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja unggulan TQM (BLD). Riset yang meneliti pentingnya hubungan kekaryawanan (employee relations) sebagai salah satu faktor yang mendukung susksesnya implementasi TQM masih sangat langka. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari Yang (2006) yang menunjukkan bahwa hubungan kekaryawanan (employee relations) hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap praktek TQM.

6. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa internal communication (ICM) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja unggulan TQM (BLD). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Eisenstat (1993); Ghobadian & Gallear (1997), dan Hansson dkk (2003) bahwa mengembangkan komunikasi merupakan hal penting dalam mengelola perubahan, termasuk di dalam implementasi TQM

7. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa staffing (STF) tidak berpengaruh signifikan terhadap adhocracy (ADC). Hasil penelitian ini tidak mendukung pendapat yang disampaikan oleh Mintzberg (1989) bahwa budaya adhocracy sangat berkaitan erat dengan budaya TQM yang menekankan pada kemampuan problem solving, dan proses inovatif. Demikian pula dengan penelitian Selvin dan Coven (1990) tidak sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa budaya adhokrasi mempersyaratkan situasi "getting things done", yang secara otomatis membutuhkan individu yang memiliki akuntabilitas, berpartisipasi dalam tim, fleksibilitas yang tinggi, kemampuan melakukan koordinasi dan komunikasi lintas fungsional yang baik.

8. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa training (TND) berpengaruh signifikan terhadap adhocracy (ADC). Melaui pendidikan dan pelatihan, peningkatan kompetensi, awareness, ownership dan indoktrinasi nilai-nilai TQM sebagai budaya perusahaan disampaikan secara sistematis dan intensif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Snee dan Hoerl (2005), Bowen dan Lawler (1992), dan Oakland (2002) peran pelatihan dan pendidikan sangat signifikan sebagai bukti komitmen nyata dari top manajemen.

9. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa performance appraisal (PAP) tidak berpengaruh signifikan terhadap adhocracy (ADC). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Hildebrand (1997) bahwa budaya adhocracy dan market membutuhkan tuntutan kinerja untuk memenangkan kompetisi, hal ini dapat dicapai melalu sistem manajemen kinerja yang mengakomodasi penilaian kinerja, penetapan sasaran, mengkomunikasikan ekspektasi, observasi, dokumentasi pemberian umpan balik serta membantu pekerja untuk mengembangkan kompetensinya. Demikian pula dengan penelitian dari Stephen & Roithmayr (1998) menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian ini yang menyatakan sistem manajemen kinerja harus relevan dengan target bisnis dan di desain secara internal oleh para supervisor untuk menjamin ‘buy-in’ dan sesuai kebutuhan, penilaian kinerja tidak akan berarti bila penghargaan dan peningkatan kapabilitas individu tidak masuk dalam agenda eksekusi

10. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa reward (RWD) berpengaruh signifikan terhadap adhocracy (ADC). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Johnston dan Daniel (1992), Payne (1992), Mann dan Kehoe (1995), Montes dkk, (2003) yang menjelaskan bahwa suksesnya implementasi TQM salah satunya harus mempertimbangkan reward yang mengakomodasi pembentukan iklim dan budaya organisasi jangka panjang, pemberdayaan, dan keterlibatan karyawan. Penelitian Allen dan Brady (1997), menemukan bahwa dukungan yang diberikan perusahaan ke karyawan terkait proses kreativitas dan inovasi pada perusahaan yang implementasi TQM jauh lebih tinggi dibanding perusahaan non-TQM yang sejalan dengan hasil penelitian ini.

11. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa employee relations (ERL) berpengaruh signifikan terhadap adhocracy (ADC). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Saraph dkk (1989) yang dalam pengembangan model konseptual TQM mengajukan faktor-faktor utama organisasi dan operasional yang dijadikan "TQM Best Practice", diantaranya indikator hubungan kekaryawanan (employee relations) yang dapat mendukung suksesnya implementasi TQM.

12. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa internal communication (ICM) berpengaruh signifikan terhadap adhocracy (ADC). Hasil penelitian ini memperkuat hasil riset yang dilakukan oleh Ehrnrooth (2002) yang membuktikan pentingnya fungsi komunikasi untuk menciptakan praktek MSDM yang ideal dan menunjang strategi bisnis perusahaan.

13. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa staffing (STF) tidak berpengaruh tidak signifikan terhadap market (MKC). Hasil penelitian ini memperkuat pendapat yang disampaikan oleh Richard dkk., (2002), Kleiner (1999) bahwa praktek rekrutmen dan penempatan tenaga kerja (staffing) sering dipandang sebagai aktivitas yang memberatkan "anggaran".

14. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa training (TND) berpengaruh signifikan terhadap market (MKC). Hasil penelitian ini memperkuat peneltian dari Rodriques (1994) bahwa program dan aktivitas pelatihan yang bertemakan pada peningkatan kualitas, secara otomatis merupakan sarana yang paling efektif dalam menciptakan budaya berorientasi pasar karena kualitas identik dengan ekspektasi pelanggan, dan target pencapaian kualitas adalah prioritas utama impelementasi TQM. Penelitian dari Blackburn dan Rosen (1993) juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini yang menyebutkan, perusahaan-perusahaan penerima penghargaan Baldrige memiliki fokus program pelatihan yang komprehensif pada peningkatan kualitas yang didukung oleh top manajemen.

15. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek performance appraisal (PAP) tidak berpengaruh signifikan terhadap market (MKC). Hasil penelitian ini sejalan dengan studi dari Bernthal dkk (1997) yang menunjukkan hanya 38% organisasi menggunakan kompetensi sebagai salah satu komponen dalam sistem manajemen kinerjanya, sebagian organisasi mempergunakan sasaran berbasis tim dalam perencanaan kinerja individual, bahkan banyak penekanan pada para manajer pelatihan dan pengembangan untuk menerapkan sistem manajemen kinerja.

16. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek reward (RWD) tidak berpengaruh signifikan terhadap market (MKC). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Snape (1995) bahwa retensi karyawan potensial membutuhkan sistem imbalan yang inovatif, khususnya di dalam pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif. Demikian pula dengan penelitian McLagan dan Nel (1997) yang memandang pemberdayaan karyawan melalui sistem pengupahan hanya dapat dilakukan bila imbalan yang diberikan kepada karyawan mengacu pada pencapaian sasaran.

17. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek employee relations (ERL) tidak berpengaruh signifikan terhadap market (MKC). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Legge (1995) dan Storey (1992) MSDM harus mampu mampu menyediakan individu yang memiliki fleksibilitas yang tinggi dan dengan jumah yang ideal, selain itu harus mempertahankan motivasi dan pengembangannya dalam jangka panjang. Praktek tersebut dianggap sebagai bagian dari peran utama manajer dalam menjalankan kebijakan hubungan kekaryawanan yang baik

18. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek internal communication (ICM) tidak berpengaruh signifikan terhadap market (MKC). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari Lakhe dan Mohanty (1993) yang menunjukkan bahwa model komunikasi yang dibangun terkait dengan implementasi TQM harus dapat menjelaskan secara detil improvement ditempat kerja dan menggunakan saluran komunikasi internal untuk meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun eksternal. Dari penelitian yang dilakukan Lakhe dan Mohanty (1993) tersebut, salah satu penyebab utama kegagalan internalisasi budaya yang berorientasi pasar maupun implementasi TQM adalah lemahnya komunikasi internal.

19. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek adhocracy (ADC) tidak berpengaruh signifikan terhadap TQM (BLD). Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Mintzberg (1989), budaya adhocracy memiliki karakteristik perilaku individu yang lebih informal, memiliki skill yang sangat tinggi dan menghargai individu yang memiliki keahlian, cenderung desentralisasi dan kreatif dalam pemecahan masalah. Hal tersebut merupakan ciri khas budaya organisasi yang sangat mendukung keberhasilan kinerja TQM. Demikian pula dengan penelitian dari Bailey dan Neilsen (1992), pembentukan tim antar fungsi organisasi membutuhkan elemen komunikasi dan akuntabilitas individu yang memiliki fokus pada keterampilan eksekusi, sehingga budaya adhocracy sangat selaras dengan pencapaian kinerja berbasis tim seperti halnya ukuran kesuksesan implementasi TQM.

20. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek market (MKC) berpengaruh signifikan terhadap TQM (BLD). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramayah dan Saad (2006) meneliti praktek TQM, kualitas layanan dan orientasi pasar, hasil penelitiannya menunjukan program pemberdayaan karyawan, informasi dan komunikasi, orientasi pada pelanggan, program peningkatan kinerja berkelanjutan (continuous improvement) berpengaruh signifikan pada kinerja organisasi secara keseluruhan. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian dari Sila dan Ebrahimpour (2002) melakukan telaah 76 penelitian dibidang TQM, salah satu hasil telaahnya menunjukan keterkaitan antara praktek MSDM dan pembentukan budaya organisasi berorientasi pasar dalam menunjang suksesnya implementasi TQM.

5.3 Implikasi Manajerial

Berdasarkan hasil-hasil pengujian terhadap variabel staffing (STF), training (TND), performance appraisal (PAP), rewards (RWD), employee relations (ERL), internal communication (ICM), adhocracy culture (ADC), market culture (MKC), dan TQM (BLD) maka dapat diketahui variabel-variabel apa saja yang berpengaruh signifikan terhadap adhocracy culture (ADC), market culture (MKC), dan TQM (BLD). Oleh karena itu, implikasi manajerial ditekankan pada variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap ketiga variabel endogen yaitu adhocracy culture (ADC), market culture (MKC), dan TQM (BLD).

Pertama, adhocracy culture (ADC) dan market (MKC) dipengaruhi oleh training dan pelatihan (TND). Selain itu, adhocracy culture (ADC) juga dipengaruhi oleh reward (RWD), employee relation (ERL), dan internal communication (ICM). Oleh sebab itu, implikasi kebijakan yang disarankan diprioritaskan pada keempat variabel tersebut, yaitu :

1. Meningkatkan praktek training dan pelatihan (TND)

Training dan pelatihan (TND) diukur dengan menggunakan empat indikator penelitian, yaitu training needs, training plan, training execution, dan training evaluation. Oleh sebab itu, implikasi manajerial berkaitan dengan praktek training dan pelatihan dilakuang melalui :

a. Manajemen perusahaan harus dapat mengidentifikasikan jenis kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh karyawan saat ini, tuntutan pelanggan pengguna produk/jasa perusahaan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Ketiga hal tersebut harus dapat diselaraskan sehingga merujuk kepada satu jenis kemampuan dan keterampilan yang harus ditingkatkan melalui kegiatan training kepada karyawan.

b. Meskipun secara teori praktek training dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan karyawan yang berguna untuk mendorong kinerja yang lebih baik namun terdapat beberapa hal yang perlu direncanakan dengan baik dalam praktek training. Dalam merencanakan kegiatan training kepada karyawan, manajemen perusahaan harus dapat mempertimbangkan baik-baik mengenai alokasi biaya, waktu, karyawan, dan kinerja perusahaaan. Melalui perencanaan yang baik diharapkan ketika praktek training dilakukan tidak berdampak pada menurunnya kinerja organisasi karena jumlah karyawan yang bekerja berkurang untuk mengikuti kegiatan training.

c. Materi training dan pelatihan juga merupakan hal penting yang perlu direncakan. Hal penting yang perlu dijadikan pertimbangan dalam perencanaan materi training adalah bahwa training yang diberikan kepada karyawan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perusahaan yang diselaraskan dengan visi dan misi yang hendak dicapai perusahaan, perubahan kebutuhan dan keinginan pelangga pengguna produk/jasa perusahaan, serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.

d. Dalam perencanaan kegiatan training, pertimbangan akan nara sumber pemberi materi training dan pelatihan juga menjadi hal penting dalam merencanakan training. Training haruslah diberikan oleh trainer yang kompeten dan memiliki kredibilitas di bidangnya karena berkaitan dengan kualitas hasil training.

e. Praktek training yang sudah direncanakan tersebut harus segera dilaksanakan dan tidak ditunda lagi. Karena penundaan kegiatan training yang telah direncanakan dapat berdampak pada tidak lagi bermanfaatnya training yang disebabkan oleh adanya perubahan kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan karyawan, perubahan tuntutan pelanggan pengguna produk/jasa perusahaan, dan perubahan akibat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.

f. Kegiatan training yang dilakukan oleh perusahaan kepada karyawannya tidak akan dapat diketahui keberhasilannya apabila perusahaan tidak melakukan evaluasi terhadap hasil training yang dilakukan pada karyawannya. Oleh sebab itu, penting bagi manajemen perusahaan untuk menetapkan suatu tolok ukur evaluasi terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan karyawan yang sudah mengikuti kegiatan training.

g. Agar perusahaan dapat beradaptasi dan menselaraskan tuntutan pelanggan pengguna produk/jasa perusahaan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi dengan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan maka praktek training dan pelatihan harus dapat dilakukan secara berkala sehingga kemampuan dan keterampilan karyawan dapat selalu meng-up grade untuk disesuaikan dengan tuntutan pelanggan pengguna produk/jasa perusahaan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.

h. Setelah merencanakan, melaksanakan, melakukan evaluasi terhadap hasil training maka manajemen perlu menjamin bahwa distribusi training harus dilakukan secara adil kepada seluruh karyawan. Hal ini penting untuk menjamin pemerataan kemampuan dan keterampilan. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa seluruh karyawan harus memperoleh materi training yang sama karena dapat menelan biaya yang sangat besar. Hal ini dapat disiasati dengan membagi-bagi materi training, artinya tiap karyawan menerima materi training yang berbeda. Selanjutnya adalah menjadi tugas manajemen untuk menjamin terjadinya transfer kemampuan dan keterampilan kepada karyawan lain.

2. Meningkatkan praktek internal communication (ICM)

  1. Perlunya saluran komunikasi yang sehat dan transparan untuk menjamin distribusi informasi antara karyawan dengan pimpinan perusahaan.
  2. Setiap perusahaan diupayakan memiliki serikat pekerja yang berfungsi sebagai jembatan informasi antara pihak manajemen perusahaan dengan karyawan.

3. Meningkatkan employee relation (ERL)

  1. Menjalin hubungan yang sehat dalam hubungan industrial dan hubungan serikat pekerja melalui forum komunikasi yang sehat
  2. Serikat kerja memainkan perannya sebagai mitra dalam produktivitas dengan menjalankan fungsi sebagai mediator yang dapat dijadikan sebagai saluran komunikasi, dan pertukaran informasi terkait masalah ketenagakerjaan maupun program-program perusahaan, termasuk implementasi TQM.

4. Meningkatkan reward (RWD)

  1. Reward didasarkan pada prinsip keadilan, oleh sebab itu penentuan besar kecilnya reward harus didasarkan pada berbagai pertimbangan, misalnya hasil penilaian kinerja, masa kerja, pencapaian target kerja.
  2. Menambahkan reward di luar gaji pokok seperti profit sharing yang besar kecilnya disesuaikan dengan besar kecilnya laba perusahaan.
  3. Adanya dukungan sistem imbalan yang jelas yang mampu memberikan jaminan kepastian pada karyawan.

Kedua, TQM (BLD) dipengaruhi oleh market (MKC). Oleh sebab itu, implikasi kebijakan yang disarankan diprioritaskan pada variabel tersebut, yaitu :

1. Meningkatkan komitmen pimpinan dan karyawan pada konsumen yang diwujudkan dengan memberikan perhatian pada kebutuhan pelanggan.

2. Pimpinan bersama dengan karyawan senantiasa meningkatkan pelayanan yang berkualitas pada pelanggan.

3. Pimpinan dan karyawan bekerja sama untuk senantiasa memonitor perkembangan dan perubahan kebutuhan dan harapan pelanggan.

4. Mengembangkan strategi keunggulan bersaing yang membangun kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.

5. Mempertahankan pelanggan yang puas dan loyal melalui program Customer Relationship Management.

5.4 Keterbatasan Penelitian dan Agenda Penelitian Mendatang

5.4.1 Keterbatasan Penelitian

Hasil dari penelitian ini tidak terlepas dari beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut adalah pertama, bahwa hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisir pada populasi yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan industri manufaktur.

Kedua, nilai GFI dan AGFI pada pengujian kelayakan model penelitian yang termasuk dalam ketegori marginal dimana semestinya dalam pengujian model, nilai indeks tersebut termasuk dalam kategori baik.

Ketiga, keengganan responden untuk menjawab kuesioner dengan lengkap sehingga peneliti perlu melakukan follow up terhadap jawaban kuesioner yang belum lengkap.

Keempat, belum terbukanya masyarakat (dalam hal ini adalah pimpinan industri manufaktur sebagai responden penelitian) terhadap kegiatan penelitian karena masih terdapat asumsi bahwa dengan menjawab kuesioner dengan sebenar-benarnya berarti membukan keburukan internal perusahaan atau membuka rahasia keberhasilan perusahaan sehingga dikhawatirkan akan ditiru oleh pesaing.

Kelima, adanya kecurigaan-kecurigaan masyarakat (dalam hal ini adalah pimpinan industri manufaktur sebagai responden penelitian) kepada peneliti sehingga peneliti perlu melakukan pendekatan proaktif kepada responden untuk membangun image yang positif berkaitan dengan kegiatan penelitian.

5.4.2 Agenda Penelitian Mendatang

Berkaitan dengan keterbatasan yang ditemukan pada hasil penelitian ini maka agenda untuk penelitian mendatang adalah mengaplikasikan model penelitian pada perusahaan yang memiliki karakteristik berbeda dengan industri manufaktur.